ANGKLUNG
Berasal dari Culture Thinking
Sekitar tahun 1985 pertunjukan
angklung tradisional menjamur di Kota, Kabupaten dan Pedesaan (Rendell Baier,
1985:8) entitasnya sempat terasing pada lokusnya sendiri, termarginalkan dan
dipelihara oleh masyarakat Sunda yang terkotak-kotakan pada saat itu, yakni
masyarakat adat yang mempertahankan ciri keleluhuran, antara lain komunitas
adat Cipta Gelar di Sukabumi, Cigugur di Kab. Kuningan, Komunitas adat
Cireundeu di Kampung Gajah Cimahi, dan Masyarakat Kanekes di Banten Selatan yaitu
Masyarakat Suku Baduy.
Mengapa saya sebut angklung tradisional berasal dari Culture Thinking ? karena permainan musik angklung jaman sekarang memiliki perbedaan maksud dan tujuan. Angklung tradisional merupakan instrumen yang menyertai kehidupan pertanian pada masyarakat Sunda waktu itu, dimainkan sebagai persembahan yang bersifat transenden atau pemikiran lain kepada Nyi Pohaci Sanghyang Sri atau Dewi Padi. Tentu jika kita berbicara tentang kebiasaan adat masyarakat pada jaman dahulu berbeda dengan sekarang, ketika Islam masuk dan menjadi agama mayoritas masyarakat Sunda ritual kepercayaan seperti itu direpresentasi sebagai sesuatu yang absurd. Semenjak itu angklung kurang mendapat porsi untuk tampil di ruang publik luas.
Dampak lain yang menjadi
pertimbangan culture thinking ini pun terletak pada perubahan sosial dan
gencarnya pembangunan pada segala bidang kehidupan menyebabkan masyarakat Sunda
lebih memilih menjadi pegawai pabrik dan buruh kantoran dimana sudah sedikit
dari masyarakat Sunda mempertahankan lahannya untuk tetap bertani. Secara waktu,
suka tidak suka, mau ataupun tidak mau, angklung berhadapan dengan roda waktu
yang terus melaju kencang sampai akhirnya angklung berhadapan dengan jaman yang
disebut gelobalisasi. Akhirnya angjul tradisional menghadapi kendala yang
sangat dilematis.
Seolah-olah mendapatkan tenaga
tambahan untuk bengkit dari keterpurukan, angklung yang dalam keadaan stagnasi.
Negara tetangga Malaysa yang mengajukan klaim atas kepemilikan angklung dan
kesenian Nusantara – batik, tari pendet, kuda kepang, dan reog ponorogo,
membuat kita semua membuka mata atas kekayaan budaya yang kita miliki. Klaim Malaysia
atas angklung membangun kesadaran etnisitas atau kekayaan bangsa Indonesia. Semua
hal tersebut menyebabkan bangsa Indonesia kembali peduli untuk memikirkan
beberapa kesenian yang terancam di klaim oleh Negara tetangga. Peristiwa tersebut
menjadi momentum penting untuk menata kekayaan seni tradisi yang dimiliki
bangsa Indonesia yaitu angklung.
Semua hal yang berbau budaya
berfikir inilah yang memiliki dampak atau awal mulanya sebuah tradisi kesenian
berkembang ataupun hilang, cara berpikir setiap insan menjadi pengaruh besar akan
terciptanya peradaban atau alat baru yang menghiasi isi dunia ini, bak seperti
kebutuhan sehari-hari semua hal dipikirkan dan dibuatnya menjadi sesuatu hal
yang mudah, dimana setiap Insan di bumi ini tidak perlu menunggu balasan surat
selama seminggu untuk mendapatkan kabar dari orang yang dituju dalam surat
kirimannya tersebut.
Secara bentuk angklung merupakah
alat musik tradisional yang nampaknya memiliki latar belakang dan proses yang panjang,
seperti memiliki banyak banyak perombakan dalam proses penciptaan bentuknya. Secara
objektif kekayaan ini belum diketahui secara pasti antara lain instrumen yang
digunakan, musikalitas, cara memainkan, latar belakang dan unsur apa saja yang
harus dimiliki untuk membentuk instrumen
angklung.
Selamat Hari Angklung Sedunia
16 November 2022
Komentar
Posting Komentar